Maafkan Aku

Wildan adalah anak semata wayang pak Yasin. Mereka hidup berdua saja, karena sang Ibu telah meninggal ketika melahirkan Wildan. Rumah mereka terpisah agak jauh dengan rumah tetangga.
Sering Wildan membuat ulah, yang membuat pak Yasin kadang berang. Namun, demi mendengar permintaan maaf dan wajah memelas Wildan, hati pak Yasin luluh juga. Ya sudah, lain kali jangan diulangi lagi. Begitu nasihat pak Yasin. Selalu. Dan selalu, Wildan akan mengulanginya lagi.

Pernah kejadian, karena asyik mencari ikan, Wildan lalai dengan tugas yang diberikan ayahnya. Akibatnya, seekor anak kambing yang digembalakannya hilang. Dan Wildan akan meminta maaf kepada ayahnya, seperti biasa. Ayah pasti akan memaafkanku, batin Wildan. […]

Dan sampailah pada suatu masa, ketika ayahnya jatuh sakit. Pak Yasin hanya bisa terbaring lemah di atas pembaringan. Kini, Wildan harus menggantikan tugas-tugas ayahnya.
Pada suatu hari, pak Yasin meminta Wildan memasak air untuk dirinya. Kalau engkau memasak air, jangan sekali-kali engkau tinggalkan tungku, pesan pak Yasin.

Ketika sedang menunggu air yang dimasak, Wildan melihat seekor burung berbulu indah hingga di dahan rendah yang terletak di dekat pintu dapur. Wildan berniat menangkap burung itu, karena burung yang dia lihat termasuk burung yang langka di desanya. Namun segera ia ingat dengan pesan ayahnya, untuk tidak meninggalkan tungku yang sedang menyala. Demi melihat gerak lincah dan suara merdu burung itu, hati Wildan tergoda. Ah, aku kan tidak akan jauh dari dapur. Aku masih bisa mengawasinya dari luar, kata Wildan pada dirinya sendiri.

Maka dengan mengendap-endap, ia mendekati pohon tempat burung itu bertengger. Dan hup. Secepat kilat, Wildan melompat ke arah burung tersebut. Tapi ia kalah gesit. Burung itu berhasil menghindar dari sergapannya dan hinggap di atas pagar belakang rumahnya. Seolah menggodanya. Wildan mulai geram. Kali ini harus berhasil, tekad Wildan.

Kembali ia mengendap-endap di semak yang tumbuh lebat di belakang rumah. Namun sial, karena kurang hati-hati ia menginjak dahan kering yang mengagetkan burung itu. Wildan semakin kesal, diubernya kemanapun burung itu terbang. Hingga tanpa sadar, ia telah jauh dari rumahnya. Ia baru tersadar, ketika melihat asap hitam membumbung tinggi dari arah rumahnya.

Maka, dengan seluruh kemampuan lari yang dimiliki, ia melesat bagai anak panah lepas dari busurnya. Hatinya semakin was-was, melihat asap hitam semakin tebal. Juga mengingat ayahnya yang sedang sakit di rumah. Air mata telah membanjiri pipinya. Rasa perih di tangan dan kakinya karena terkena duri atau batu runcing tak dirasakannya lagi. Pikirannya hanya satu, pulang.

Namun harapan tinggallah harapan. Sesampai di rumahnya, si jago merah sedang melahap setiap jengkal rumahnya. Tak tampak sesiapapun di situ. Tidak juga ayahnya. Wildan mulai kalut. Ia berlari ke sana kemari. Tangisnya semakin menjadi-jadi.
“Ayah… maafkan aku ayah…” teriak Wildan.
Tapi tak ada sahutan. Tak ada jawaban sebagaimana biasanya ketika ia meminta maaf kepada ayahnya.
“Maafkan aku ayah….. maafkan aku…”

Sekeras apapun Wildan berteriak, sekuat apapun permintaan maafnya, tak akan mengubah keadaan. Ayahnya yang sedang terbaring sakit, telah menyatu dengan kobaran api yang semakin menggila. Hanya suara derakan kayu dimakan api yang menjawab permintaan maaf Wildan.

***

Sahabat, janganlah hanya berusaha meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang pernah kita perbuat. Namun berusahalah untuk tidak berbuat kesalahan, agar kita tidak perlu meminta maaf. Berusahalah, karena bisa jadi kita sudah tidak punya waktu lagi untuk meminta maaf.

5 Comments Add yours

  1. cahsholeh berkata:

    Ya… Tenang aja! sampean sudah aku maafkan. Hehe

  2. Rafki RS berkata:

    Dan maafkanlah setiap orang walaupun orang tersebut belum pernah berbuat salah ke kita. Kisah yang sangat menggugah Pak.

  3. ipung berkata:

    Bener buanget lho …
    bahwa kita perlu menjaga kata-kata kita, dipikir masak2 ketika ngomong atau melakukan sesuatu, jangan ketika fitnah sudah menyebar ke seantero jagad e.e. ujung-ujungnya maaf/afwan

  4. Alifia Alisarbi berkata:

    Kisah yang sedih ya pak..

    Lebih sedih lagi kalo kita selalu mengulangi kesalahan kita. Terima kasih sudah mampir

  5. iptek berkata:

    TUHAN aja maha pemaaf.kita sebagai manusia harus juga saling memaafkan

Tinggalkan Balasan ke Alifia Alisarbi Batalkan balasan